Sejak lama pembajakan terhadap software komputer
telah menjadi fenomena di Indonesia. Pembajakan software dilakukan
dengan menggunakan berbagai media, antara lain Disket, CD (Compaq Disk),
dan sering pula dilakukan secara langsung dari komputer ke komputer dengan
menggunakan kabel data. Dalam hal ini dirasakan kurang sekali perlindungan
hukum yang diberikan kepada pencipta software. Memang diakui untuk
melindungi software dari kasus pembajakan merupakan hal yang sulit,
mengingat peng-copy-an software yang merupakan bentuk pembajakan software
dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa meninggalkan bekas karena didukung
oleh kemajuan teknologi komputer yang semakin lama semakin canggih dewasa ini.
Saat ini pembajakan software sedang
digalakkan. Hal ini antara lain dilakukan dengan melakukan razia-razia pada
tempat-tempat yang memasarkan software dan kantor-kantor yang
menggunakan komputer. Razia antara lain dilakukan pada toko komputer yang
menjual hardware dan software komputer. Sebagai sebuah toko
komputer, toko tersebut sering kali menjual komputer dilengkapi dengan software
, sehingga pengguna software dapat langsung mengaplikasikan
komputernya. Untuk meng-copy software ke dalam komputer pembeli, toko
komputer harus mempunyai lisensi dari pemegang hak cipta software. Akan
tetapi seringkali pemilik toko tidak memperpanjang lisensi tersebut sehingga
terjadi pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran hak cipta pembajakan software dapat
dipastikan tidak akan semudah melakukan razia CD/VCD bajakan. Hal itu
dikarenakan beberapa persoalan antara lain : bagaimana membuktikan yang original
dan yang tidak original, kapan pelanggaran hak cipta software itu
terjadi, apa bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta software tersebut,
siapa yang terlibat, dan sebagainya. Dengan kata lain banyak tantangan
menegakkan hukum di sektor ini. Terlebih lagi menyangkut ancaman tutupnya
jutaan lembaga pendidikan serta lembaga kursus yang telah berhasil mencetak
tenaga ahli komputer dengan biaya yang murah karena dilakukan dengan melakukan
pelanggaran software pihak lain. Akankah kita hanya melihat software,
sebagai barang mewah yang hanya jadi pajangan di toko-toko karena kita tidak
mampu beli. Relakah perkembangan ilmu pengetahuan anak cucu kita terhenti
karena mahalnya software.
Menurut daftar kata-kata WIPO (World Intellectual
Property Organization) definisi pembajakan hak cipta dan hak terkait adalah
memproduksi karya yang sudah dipublikasikan atau rekaman suara dengan alat
apapun untuk di distribusikan pada masyarakat dan disiarkan ulang oleh badan
siaran lain tanpa izin. Sedangkan menurut TRIPS yang dimaksud dengan
barang-barang hak cipta bajakan adalah barang-barang yang salinannya dibuat
tanpa izin pemegang hak atau orang yang diberi kuasa di negara di mana barang
tersebut diproduksi dan dibuat langsung atau tidak langsung dari sebuah barang
di mana pembuatan barang tiruannya merupakan sebuah pelanggaran hak cipta atau
hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta menurut Undang-undang negara tujuan
impor.
Kasus pelanggaran hak cipta pembajakan software disebabkan
oleh beberapa faktor. Ketentuan satu mesin satu lisensi misalnya, telah membuat
pengguna mengambil jalan pintas untuk menggunakan program bajakan, sedangkan di
sisi lain penyalinan terhadap software mudah dilakukan.Sangat sulit
untuk mencegah tindakan perbanyakan software yang dapat dilakukan dengan
sangat mudah oleh pengguna komputer yang membutuhkan software itu dan
tidak mempunyai alternatif lain sedangkan ia tidak mampu untuk membeli lisensi
dengan harga yang mahal.
Pelanggaran
software bukan saja berasal dari
diri pribadi pengguna saja, karena terjadinya pelanggaran sering juga dipicu
oleh keadaan dari program itu sendiri. Sangat sulit untuk mencegah tindakan
perbanyakan
software yang dapat dilakukan dengan sangat mudah oleh
pengguna komputer yang membutuhkan
software itu dan tidak mempunyai
alternatif lain sedangkan ia tidak mampu untuk membeli lisensi dengan harga
yang mahal. Hal ini tidak lepas dari :
1)
Mahalnya harga lisensi. Sebagai gambaran harga dari lisensi Windows 98
berharga US $ 215 dan Windows 95 US $ 200, Windows 2003 US $ 240, dan
Windows 2007 US $ 250.
2)
Mudahnya melakukan penyalinan pada data-data yang disimpan dalam format digital.
3)
Belum meluasnya informasi mengenai kemungkinan solusi dengan memanfaatkan open
source. Bahkan BSA (Business Software Alliance) sendiri cenderung
belum pernah mempromosikan open source sebagai langkah untuk mengurangi
pembajakan di Indonesia.
Mengurai peta pembajakan di negeri ini sudah amat
sulit apalagi menegakkan hukumnya atas pelanggaran tersebut. Dari aspek
ekonomi, terdapat simbiosis mutualisme, terdapat saling diuntungkan dalam
lingkaran pembajakan tersebut. Produk bajakan harganya murah sehingga
masyarakat menengah ke bawah cenderung terjangkau membelinya, apalagi
kualitasnya kadang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Permintaan produk bajakan
yang banyak diminati kalangan kelas menengah ke bawah menimbulkan minat
investasi pelaku pembajakan, karena iming-iming profit yang besar, tanpa biaya
promosi. Pelaku pembajakan mendapat keuntungan karena tidak membayar royalti,
tidak membayar pajak. Dengan demikian semua pihak yang terlibat, yaitu
masyarakat, penjual, pabrik mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut.
Pada umumnya pada simbiosis mutualisme mereka sudah tidak menghiraukan lagi
terdapatnya pihak lain yang dirugikan dari aktivitas pembajakan tersebut, hal
ini kadang berakibat upaya penanganan terhadap pembajakan justru mendapat tantangan
dari masyarakat sendiri. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Chandra
Darusman, bahwa angka pembajakan dapat dikurangi asalkan masyarakat juga turut
berperan. Banyaknya pembajakan juga disebabkan karena banyaknya anggota
masyarakat yang membeli hasil bajakan. Melihat besarnya jumlah nilai uang yang
dihasilkan dari pembajakan tersebut (sehari kurang lebih 5 juta keping = Rp 450
Milyar/bulan), agaknya potensi untuk terjadinya konspirasi juga sangat besar.
Dengan kecanggihan data intelijen saat ini juga patut diragukan kalau POLRI
tidak mengetahui dengan pasti keberadaan mesin pengganda, yang jumlahnya
mencapai kurang lebih 100 buah di Jawa ini.
Menyikapi maraknya pembajakan software di
Indonesia, Ditjen HKI pernah mengirim surat melalui direct mailer kepada
10 ribu pengguna software untuk menggunakan software yang legal.
Isi surat tersebut berupa himbauan agar menggunakan software bagi para
pemakai software, terutama kalangan bisnis dan usahawan. Selain itu
Ditjen HKI juga menandatangani MOU dengan kepolisian tanggal 10 Juni 2003 untuk
mengefektifkan penegakan hukum di bidang pelanggaran HKI. Pemerintah Juga telah
merancang pembentukan Tim penanggulangan pelanggaran HKI yang antara lain
beranggotakan Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Depkeh dan HAM,
serta Bea dan Cukai. Tim ini dirancang untuk menentukan arah penegakan
pelanggaran di bidang HKI, termasuk memerangi pembajakan secara nasional.