Dalam sebuah penelitian yang dilakukan International
Data Corp (IDC) dan diterbitkan pada bulan Mei Tahun ini bertajuk 2009 Global
Software Piracy Study, disimpulkan bahwa peng-install-an software tanpa lisensi
pada komputer (PC) di Indonesia meningkat satu poin menjadi 86% pada 2009
dibanding tahun sebelumnya. IDC lebih lanjut memperkirakan bahwa nilai software
tanpa lisensi di Indonesia pada 2009 juga meningkat tajam menjadi US$ 886 juta.
Berdasarkan penelitian IDC yang belum lama ini
diumumkan secara global. Studi bertajuk ”Dampak Ekonomi dari Pengurangan
Tingkat Pembajakan Peranti Lunak” ini meneliti manfaat ekonomi yang
diperoleh dengan menekan pembajakan software di 42 negara di seluruh dunia.
Untuk Indonesia, studi ini menyimpulkan bahwa mengurangi tingkat pembajakan
software sebesar 10 persen selama empat tahun akan menciptakan lebih dari 1.884
lapangan pekerjaan berkualifikasi high- tech job, meningkatkan GDP sebesar US$
2,4 miliar, dan menghasilkan pemasukan pajak hampir sebesar US$ 124 juta pada
2013. Lebih penting lagi, diperkirakan 55 persen dari manfaat tersebut
dinikmati di tingkat ekonomi lokal.
Pembajakan
Software dan Kemajuan Ekonomi Suatu Negara
Ketergantungan suatu negara terhadap software bajakan
akan menyebabkan kemunduran ekonomi. Tertutupnya lapangan pekerjaan di sektor
ekonomi kreatif (Software) bagi para pencari kerja baru. Dengan tertutupnya
peluang pekerjaan ini maka akan terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, perusahaan-perusahaan IT Dunia akan enggan untuk berinvestasi di
Indonesia. Untuk itu, maka diperlukan sebuah kebijakan akan pentingnya
perlindungan Hak Cipta Software ini. Kesadaran menggunakan software original
harus sudah menjadi budaya masyarakat kita. Didalam Undang-Undang Hak Cipta No
19 Tahun 2002 pasal 30 tentang Hak Cipta atas Ciptaan Program Komputer diatur
masa waktu perlindungan software yaitu berlaku selama 50 tahun sejak pertama
kali diumumkan (dipasarkan). Jika selama 50 tahun masa perlindungan ini sangat
efektif maka imbasnya adalah besarnya nilai pajak yang akan dibayarkan oleh
perusahaan-perusahaan IT yang berinvestasi di Indonesia. Namun yang terjadi
adalah, ketika pertama kali versi trial software itu di rilis maka tidak lama
kemudian versi bajakannya telah beredar di Indonesia. Lebih parah lagi jika
software hasil 100 % Indonesia dibajak di negeri sendiri, maka otomatis vendor
lokal software lokal akan ambruk dan tidak bisa pula memberikan pajaknya dari
setiap penjualan software original tersebut.
Oleh karena itu,
sebuah negara berkembang yang tinggi tingkat pembajakan softwarenya akan susah
untuk maju menjadi negara yang maju di bidang IPTEK. Karena fondasi dasar
ekonomi kreatifnya sangat lemah dalam hal perlindungan Hak Kekayaan
Intelektualnya (HKI). Selain itu dengan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap
pembajakan software ini akan menyebabkan tingkat ketergantungan yang cukup akut
terhadap mandeknya kreatifitas dan inovasi masyarakat Indonesia. Kita hanya
akan terjebak kepada pola instan, terjebak kepada masyarakat konsumtif, dan
tidak akan pernah berniat untuk berubah menjadi bangsa produktif yang bisa menghasilkan
berbagai software mandiri. Untuk memutus siklus pembajakan software ini,
kiranya perlu dilakukan dua kebijakan tegas yaitu : (1). Mendukung penuh
penegakan Hukum di Bidang Software Berbayar, dan (2). Mendukung penuh
penggunaan software opensource (terbuka) yang bersifat gratis. Kedua kebijakan
ini harus sudah dituangkan kedalam kurikulum pembelajaran di mulai sekolah
Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Karena sesunggunya sadar HKI ini paling
banyak di sektor Pendidikan. Jika setiap peserta didik faham dengan baik akan
HKI di bidang software maka dengan sendirinya mereka akan berfikir untuk
menghasilkan sendiri sofware secara mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar