Pembajakan Software

Pembajakan Software

Rabu, 21 November 2012

DAMPAK NEGATIF PEMBAJAKAN SOFTWARE DAN KEMAJUAN EKONOMI SUATU NEGARA


Dalam sebuah penelitian yang dilakukan International Data Corp (IDC) dan diterbitkan pada bulan Mei Tahun ini bertajuk 2009 Global Software Piracy Study, disimpulkan bahwa peng-install-an software tanpa lisensi pada komputer (PC) di Indonesia meningkat satu poin menjadi 86% pada 2009 dibanding tahun sebelumnya. IDC lebih lanjut memperkirakan bahwa nilai software tanpa lisensi di Indonesia pada 2009 juga meningkat tajam menjadi US$ 886 juta.
Berdasarkan penelitian IDC yang belum lama ini diumumkan secara global. Studi bertajuk ”Dampak Ekonomi dari Pengurangan Tingkat Pembajakan Peranti Lunak” ini meneliti manfaat ekonomi yang diperoleh dengan menekan pembajakan software di 42 negara di seluruh dunia. Untuk Indonesia, studi ini menyimpulkan bahwa mengurangi tingkat pembajakan software sebesar 10 persen selama empat tahun akan menciptakan lebih dari 1.884 lapangan pekerjaan berkualifikasi high- tech job, meningkatkan GDP sebesar US$ 2,4 miliar, dan menghasilkan pemasukan pajak hampir sebesar US$ 124 juta pada 2013. Lebih penting lagi, diperkirakan 55 persen dari manfaat tersebut dinikmati di tingkat ekonomi lokal.
Pembajakan Software dan Kemajuan Ekonomi Suatu Negara
Ketergantungan suatu negara terhadap software bajakan akan menyebabkan kemunduran ekonomi. Tertutupnya lapangan pekerjaan di sektor ekonomi kreatif (Software) bagi para pencari kerja baru. Dengan tertutupnya peluang pekerjaan ini maka akan terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perusahaan-perusahaan IT Dunia akan enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk itu, maka diperlukan sebuah kebijakan akan pentingnya perlindungan Hak Cipta Software ini. Kesadaran menggunakan software original harus sudah menjadi budaya masyarakat kita. Didalam Undang-Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002 pasal 30 tentang Hak Cipta atas Ciptaan Program Komputer diatur masa waktu perlindungan software yaitu berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan (dipasarkan). Jika selama 50 tahun masa perlindungan ini sangat efektif maka imbasnya adalah besarnya nilai pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan IT yang berinvestasi di Indonesia. Namun yang terjadi adalah, ketika pertama kali versi trial software itu di rilis maka tidak lama kemudian versi bajakannya telah beredar di Indonesia. Lebih parah lagi jika software hasil 100 % Indonesia dibajak di negeri sendiri, maka otomatis vendor lokal software lokal akan ambruk dan tidak bisa pula memberikan pajaknya dari setiap penjualan software original tersebut.
Oleh karena itu, sebuah negara berkembang yang tinggi tingkat pembajakan softwarenya akan susah untuk maju menjadi negara yang maju di bidang IPTEK. Karena fondasi dasar ekonomi kreatifnya sangat lemah dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektualnya (HKI). Selain itu dengan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pembajakan software ini akan menyebabkan tingkat ketergantungan yang cukup akut terhadap mandeknya kreatifitas dan inovasi masyarakat Indonesia. Kita hanya akan terjebak kepada pola instan, terjebak kepada masyarakat konsumtif, dan tidak akan pernah berniat untuk berubah menjadi bangsa produktif yang bisa menghasilkan berbagai software mandiri. Untuk memutus siklus pembajakan software ini, kiranya perlu dilakukan dua kebijakan tegas yaitu : (1). Mendukung penuh penegakan Hukum di Bidang Software Berbayar, dan (2). Mendukung penuh penggunaan software opensource (terbuka) yang bersifat gratis. Kedua kebijakan ini harus sudah dituangkan kedalam kurikulum pembelajaran di mulai sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Karena sesunggunya sadar HKI ini paling banyak di sektor Pendidikan. Jika setiap peserta didik faham dengan baik akan HKI di bidang software maka dengan sendirinya mereka akan berfikir untuk menghasilkan sendiri sofware secara mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar